Kultur Sekolah
Sekolah selama ini telah dinilai sebagai lembaga pendidikan yang mapan dan mampu mencetak generasi yang akan menentukan masa depan bangsa. Sebagaimana diketahui, sekolah didefinisikan sebagai bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran (Sunarto, 2004:76).
Proses dan aliran perubahan sosial dalam masyarakat membawa implikasi besar dalam dunia pendidikan. Hal ini karena keberhasilan pengembangan sektor pendidikan diyakini sebagai salah satu penentu kemajuan suatu bangsa. Pendidikan juga membawa misi kebajikan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagaimana konsep pendidikan Tamansiswa yang sistem digagas oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan merupakan sarana perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat. Pendidikan yang tidak disadari oleh kebudayaan akan menghasilkan generasi yang tercerabut dari kehidupan masyarakatnya (HB X, 2012).
Dalam konteks persekolahan (schooling), sekolah memiliki konsekuensi dan tantangan yang semakin berat, terkait dengan tuntutan masyarakat terhadap kualitas dan layanan pendidikan yang seharusnya diberikan. Sekolah dipercaya sebagai institusi yang menjadi arena pengembangan aneka potensi dan kecerdasan majemuk siswa (multiple intelligences). Oleh karena itu, upaya perbaikan sekolah perlu didorong menjadi aktivitas yang melekat (embedded) dalam setiap gerak perubahan sekolah.
A. Pengertian Kultur Sekolah
Menurut Antropologi (Koentjaraningrat, 2003: 72) kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar.
Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir, perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam wujud fisik maupun abstrak. Oleh karena itu, suatu kultur secara alami akan diwariskan oleh suatu generasi kepada generasi berikutnya. Sekolah merupakan lembaga utama yang didesain untuk memeperlancar proses transmisi kultural antar generasi tersebut (Ariefa Efianingrum, 2009: 21).
Dapat disimpulkan, kebudayaan adalah sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Suatu kebudayaan juga merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai karya yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.
Begitu pula dengan kebudayaan atau kultur dalam sekolah. Setiap sekolah memiliki budaya sekolah yang berbeda dan mempunyai pengalaman yang tidak sama dalam membangun budaya sekolah. Perbedaan pengalaman inilah yang menggambarkan adanya “keunikan” dalam dinamika budaya sekolah. Kondisi ini adalah normal sebagaimana dijelaskan oleh Bare (Siti Irene Astuti D, 2009 : 119-120) yang menyatakan bahwa ada beberapa karakteristik dari pendekatan antropologi dalam memahami dalam budaya sekolah meliputi:“a unique mixing of ethnicity, values, experience, skills, and asporation: special rituals and ceremonies: unique history of achievement and tradition: unique socio-economic and geographic location”.
Budaya sekolah menyebabkan perbedaan respon sekolah terhadap perubahan kebijakan pendidikan, dikarenakan ada perbedaan karakteristik yang melekat pada satuan pendidikan, selain itu budaya sekolah juga mempengaruhi kecepatan sekolah dalam merespon perubahan tergantung kemampuan sekolah dalam merancang pelayanan sekolah (Siti Irene Astuti D, 2009: 74).
Jadi dalam hal ini budaya atau kultur sekolah mempengaruhi dalam dinamika kultur sekolah yang tetap menekankan pentingnya kesatuan, stabilitas, dan harmoni sosial pada sekolah, dan realitas sosial.Budaya sekolah juga memperngaruhi kecepatan sekolah dalam merespon perubahan tergantung kemampuan sekolah dalam merancang pelayanan sekolah.
Sekolah merupakan sistem sosial yang mempunyai organisasi yang unik dan pola relasi sosial di antara para anggotanya yang bersifat unik pula. Hal itu disebut kebudayaan sekolah. Namun, untuk mewujudkannya bukan hanya menjadi tanggung jawab pihak sekolah. Sekolah dapat bekerjasama dengan pihak-pihak lain, seperti keluarga dan masyarakat untuk merumuskan pola kultur sekolah yang dapat menjembatani kepentingan transmisi nilai (Ariefa Efianingrum, 2007: 51).
Terdapat sejumlah pengertian tentang kultur sekolah, antara lain yang dikemukakan oleh Deal & Peterson (2011) berikut ini:
“School culture is the set of norms, values and beliefs, rituals and ceremonies, symbols and stories that make up the persona of the school. These unwritten expectation build up over time as teachers, administratirs, parents, and students work together, solve problems, deal with challenges and, at times, cope with failurues, For examples, every school has a set of expectations about wjat can be discussed at staff meetings, what constitutes good teaching techniques, how willing the staff is to change, and the importance of staff development. School culture is also the way they think their schools and deal with the culture in which they work” (Deal & Peterson, 2011)
Budaya sekolah merupakan himpunan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan, ritual dan upacara, simbol dan cerita yang membentuk persona sekolah. Disini tertulis harapan untuk membangun dari waktu ke waktu sebagai guru, administrator, orang tua, dan siswa bekerja sama, memecahkan masalah, menghadapi tantangan dan mengatasi kegagalan. Setiap sekolah memiliki seperangkat harapan tentang apa yang dapat dibahas pada rapat staf, bagaimana teknik mengajar yang baik, dan pentingnya pengembangan staf. Budaya sekolah juga merupakan cara berpikir tentang sekolah dan berurusan dengan budaya dimana mereka bekerja.
Sedangkan menurut Schein (Peterson, 2002), budaya sekolah dimaknai sebagai: “School cultures are complex webs of traditions and rituals that have been built up over time as teachers, students, parents, and administrators work together and deal with crises and accomplishments. Cultural patterns are highly enduring, have a powerful impact on performance, and shape the essays people think, act, and feel” (Schein, Deal & Peterson, 2002).
Budaya sekolah merupakan jaringan tradisi dan ritual yang kompleks, yang telah dibangun dari waktu ke waktu oleh guru, siswa, orangtua, dan administrator yang bekerja sama dalam menangani krisis dan prestasi. Pola budaya sangat abadi, memiliki dampak yang kuat pada kinerja, dan membentuk bagaimana orang berpikir, bertindak, dan merasa.
Dalam perjalanannya, sekolah juga memiliki kebiasaan dan upacara-komunal untuk merayakan keberhasilan, untuk memberikan kesempatan selama transisi kolektif, dan untuk mengakui kontribusi masyarakat terhadap sekolah. Budaya sekolah juga meliputi simbol dan cerita yang mengkomunikasikan nilai-nilai inti, memperkuat misi, membangun komitmen, dan rasa kebersamaan.
Simbol adalah tanda lahiriyah nilai. Cerita merupakan representasi sejarah dan makna kelompok. Dalam budaya positif, fitur tersebut memperkuat proses pembelajaran, komitmen, dan motivasi, karena menjamin para anggota konsisten dengan visi sekolah.
Menurut Peterson (2002), suatu budaya sekolah mempengaruhi cara orang berpikir, merasa, dan bertindak. Mampu memahami dan membentuk budaya adalah kunci keberhasilan sekolah dalam mempromosikan staf dan belajar siswa. Sedangkan menurut Willard Waller (Deal & Peterson, 2011), sekolah memiliki budaya yang pasti tentang dirimereka sendiri. Di sekolah, ada ritual yang kompleks dalam hubungan interpersonal, satu set kebiasaan, adat istiadat, dan sanksi irasional, kode moral yang berlaku di antara mereka. Orangtua, guru, kepala sekolah, dan siswa selalu merasakan sesuatu yang istimewa, namun seringkali tak terdefinisikan, tentang sekolah mereka, tentang sesuatu yang sangat kuat namun sulit untuk dijelaskan. Kenyataan ini, merupakan aspek sekolah yang sering diabaikan dan akibatnya seringkali tidak hadir dalam diskusi-diskusi tentang upaya perbaikan sekolah.
Dalam literatur sosiologi pendidikan, kebudayaan sekolah dimaknai sebagai: a complex set of beliefs, values and traditions, ways of thinking and behaving, yaitu seperangkat keyakinan, nilai, dan tradisi, cara berpikir dan berperilaku yang membedakannya dari institusi-institusi lainnya (Vembriarto, 1993). Lebih lanjut dikemukakan bahwa kebudayaan sekolah memiliki unsur-unsur penting, mulai dari yang abstrak/non-material hingga yang konkrit/material, yaitu:
1. Nilai-nilai moral, sistem peraturan, dan iklim kehidupan sekolah.
2. Pribadi-pribadi yang merupakan warga sekolah yang terdiri atas siswa, guru, non teaching specialist, dan tenaga administrasi.
3. Kurikulum sekolah yang memuat gagasan-gagasan maupun fakta-fakta yang menjadi keseluruhan program pendidikan.
4. Letak, lingkungan, dan prasarana fisik sekolah gedung sekolah, mebelair, dan perlengkapan lainnya.
Sekolah berperan dalam menyampaikan kebudayaan dari generasi ke generasi dan oleh karena itu harus selalu memperhatikan kondisi masyarakat dan kebudayaan umum. Namun demikian, di sekolah itu sendiri timbul pola kelakuan tertentu. Kebudayaan sekolah merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat luas, namun mempunyai ciri-ciri yang khas/unik sebagai suatu sub-kebudayaan/sub-culture (Nasution, 1999).
Timbulnya sub-kebudayaan sekolah juga terjadi karena sebagian besar dari waktu siswa terpisah dari kehidupan orang dewasa. Dalam kondisi demikian, dapat berkembang pola perilaku yang khas bagi siswa yang tampak dari pakaian, bahasa, kebiasaan, kegiatan-kegiatan, serta upacara-upacara. Sebab lain timbulnya kebudayaan sekolah adalah tugas sekolah yang khas yakni mendidik anak melalui penyampaian sejumlah pengetahuan (kognitif), sikap (afektif),
ketrampilan (psikomotorik) yang sesuai dengan kurikulum dengan metode dan teknik kontrol tertentu yang berlaku di sekolah itu. Sebagai sub-kultur, kultur sekolah hadir dalam berbagai variasi dalam praktiknya.
B. Karakteristik Kultur Sekolah
Kultur sekolah diharapkan memperbaiki mutu sekolah, kinerja di sekolah dan mutu kehidupan yang diharapkan memiliki ciri sehat, dinamis atau aktif, positif, dan profesional. Sekolah perlu memperkecil ciri tanpa kultur anarkhis, negatif, beracun, bias dan dominatif. Kultur sekolah sehat memberikan peluang sekolah dan warga sekolah berfungsi secara optimal, bekerja secara efisien, energik, penuh vitalitas, memiliki semangat tinggi, dan akan mampu terus berkembang.
Sifat dinamika kultur sekolah tidak hanya diakibatkan oleh dampak keterkaitan kultur sekolah dengan kultur sekitarnya, melainkan juga antar lapisan-lapisan kultur tersebut. Perubahan-perubahan pola perilaku dapat secara proses mengubah sistem nilai dan keyakinan pelaku dan bahkan mengubah sistem asumsi yang ada, walaupun ini sangat sukar. Dinamika kultur sekolah dapat saja menghadirkan konflik dan jika ini ditangani dengan bijak dan sehat dapat membawa perubahan yang positif (Depdiknas Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2003: 6-7).
Kultur-kultur yang direkomendasikan Depdiknas untuk dikembangkan antara lain :
1. Kultur yang terkait prestasi/kualitas : (a) semangat membaca dan mencari referensi; (b) keterampilan siswa mengkritisi data dan memecahkan masalah hidup; (c) kecerdasan emosional siswa; (d) keterampilan komunikasi siswa, baik itu secara lisan maupun tertulis; (e) kemampuan siswa untuk berpikir obyektif dan sistematis.
2. Kultur yang terkait dengan kehidupan sosial : (a) nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan; (b) nilai-nilai keterbukaan; (c) nilai-nilai kejujuran; (d) nilai-nilai semangat hidup; (e) nilai-nilai semangat belajar; (f) nilai-nilai menyadari diri sendiri dan keberadaan orang lain; (g) nilai-nilai untuk menghargai orang lain; (h) nilai-nilai persatuan dan kesatuan; (i) nilai-nilai untuk selalu bersikap dan berprasangka positif; (j) nilai-nilai disiplin diri; (k) nilai-nilai tanggung jawab; (l) nilai-nilai kebersamaan; (m) nilai-nilai saling percaya; (n) dan nilai-nilai yang lain sesuai kondisi sekolah ( Depdiknas Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2003: 25-26).
Sedangkan menurut Jumadi (2006: 6) Keberhasilan pengembangan kultur sekolah dapat dilihat dari tanda-tanda atau indikator sesuai fokus yang dikembangkan. Beberapa indikator yang dapat dilihat antara lain : adanya rasa kebersamaan dan hubungan yang sinergis diantara warga sekolah, berkurangnya pelanggaran disiplin, adanya motivasi untuk berprestasi, adanya semangat dan kegairahan dalam menjalankan tugas, dan sebagainya.
Kultur sekolah bersifat dinamis. Perubahan pola perilaku dapat mengubah sistem nilai dan keyakinan pelaku dan bahkan mengubah sistem asumsi yang ada, walaupun ini sangat sulit. Namun yang jelas dinamika kultur sekolah dapat saja menghadirkan konflik dan jika ini ditangani dengan bijak dan sehat dapat membawa perubahan positif.
Kultur sekolah itu milik kolektif dan merupakan perjalanan sejarah sekolah, produk dari berbagai kekuatan yang masuk ke sekolah. Sekolah perlu menyadari secara serius mengenai keberadaan aneka kultur subordinasi yang ada seperti kultur sehat dan tidak sehat, kultur kuat dan lemah, kultur positif dan negatif, kultur kacau dan stabil dan konsekuensinya terhadap perbaikan sekolah. Mengingat pentingnya sistem nilai yang diinginkan untuk perbaikan sekolah, maka langkah-langkah kegiatan yang jelas perlu disusun untuk membentuk kultur sekolah (Depdiknas Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2003: 7).
Jadi dalam hal ini dinamika kultur sekolah adalah budaya dalam kehidupan sekolah yang berjalan secara terus menerus yang dapat merubah pola perilaku. Dinamika kultur juga dapat menghadirkan konflik, namun dalam hal ini jika sekolah dapat menangani secara bijak konflik tersebut dapat menajadi perubahan yang positif.
C. Implikasi Kultur Sekolah dalam Perbaikan Sekolah
Deal & Peterson (1999) memperluas kajian yang menunjukkan betapa kultur berpengaruh terhadap berjalannya fungsi sekolah. Berikut ini deskripsi mengenai aspek-aspek kultur sekolah yang berpengaruh terhadap fungsi sekolah:
1. Visi dan Nilai (Vision and Values)
Kouzes dan Posner (Locke, et.al. 1991) mendefinisikan visi sebagai berikut: “Vision as an ideal and unique image of the future”. Sedangkan Hickman & Silva mendeskripsikannya sebagai “A mental journey from the known to the unknown, creating the future from a montage of current facts, hopes, dreams, dangers, and opportunities”.
Berdasarkan pengertian tersebut, visi merupakan citra ideal dan unik tentang masa depan atau orientasi masa depan terhadap kondisi ideal yang dicita-citakan. Nilai, secara sosiologis/antropologis, dapat didefinisikan sebagai berikut: “A value is a conception, explicit or implicit, distinctive of an individual or characteristic of a group, of a desirable which influence the selection from available modes, means, and ends of action”(Kluckhohn dalam Enz, q1986).
Nilai bukan sekedar sebuah preferensi, melainkan merupakan persenyawaan dari pemikiran, perasaan, dan preferensi. Menurut Parsons & Shils (Enz, 1986), komponen nilai meliputi: kognitif, emosional, dan evaluatif. Sedangkan menurut Harrison & Huntington (2000), terdapat dua kategori nilai, yaitu nilai intrinsik dan nilai instrumental. Nilai intrinsik merupakan nilai yang ditegakkan tanpa memperhatikan untung/rugi, misalnya: nilai patriotisme. Sedangkan nilai instrumental merupakan nilai yang didukung karena menguntungkan, misalnya produktivitas.
Visi misi tujuan dan nilai-nilai dalam budaya merupakan unsur yang penting. Pentingnya tujuan bermakna norma-norma yang positif, dan nilai-nilai yang dipegang teguh untuk menambahkan semangat dan vitalitas untuk perbaikan sekolah.
2. Upacara dan Perayaan (Ritual and Ceremony)
Upacara, tradisi, dan perayaan sekolah bermanfaat dalam membangun jaringan informal yang relevan dengan budaya. Momentum-momentum penting di sekolah dapat dirayakan secara sederhana untuk me-recharge esprit de corps yang dimiliki sekolah untuk menggelorakan visi dan spirit sekolah.
3. Sejarah dan Cerita (History and Stories)
Sejarah dan cerita masa lalu penting dalam mengalirkan dan memancarkan energi budaya. Fokus pada setiap budaya sekolah adalah aliran sejarah dan peristiwa masa lalu yang turut membentuk budaya berkembang pada masa kini. Dengan kata lain, romantisme masa lalu dapat membangkitkan semangat untuk mewujudkan kejayaan masa depan.
4. Arsitektur dan Artefak (Architecture and Artifacts)
Sekolah biasanya memiliki simbol-simbol seperti: arsitektur, motto, kata-kata dan tindakan. Setiap sekolah memiliki lambang/logo sekolah, motto, lagu (mars/hymne), dan seragam sekolah yang mencerminkan visi dan misi sekolah. Pemanfaatan lahan pada area sekolah seperti: dinding kelas, selasar sekolah, dan lorong sekolah untuk memampangkan artefak fisik, efektif dalam menumbuhkan nilai dan spirit utama sekolah, misalnya melalui poster, majalah dinding, spanduk, dan pesan inspiratif lainnya.
Selanjutnya disajikan sejumlah fakta yang menunjukkan bahwa kultur sekolah memiliki implikasi terhadap upaya perbaikan sekolah, seperti dikemukakan Deal & Peterson (2011). Namun demikian, dalam praktiknya kultur sekolah seringkali justru terlewatkan dalam upaya perbaikan sekolah antara lain:
1. Culture fosters school effectiveness and productivity (Budaya mendorong terwujudnya efektivitas dan produktivitas sekolah).
2. Culture improves collegial and collaborative activities that fosters better communication and problem solving practices (Budaya meningkatkan kegiatan kolegial dan kolaboratif yang mendorong perbaikan komunikasi dan praktik pemecahan masalah).
3. Culture fosters successful change and improvement efforts (Budaya mendorong upaya keberhasilan perubahan dan perbaikan).
4. Culture builds commitment and identification of staffs, students, and administrators (Budaya membangun komitmen dan identifikasi dari para staf, siswa dan tenaga administrasi).
5. Culture amplifies the energy, motivation, and vitality of a school staff, students, and community (Budaya menguatkan energi, motivasi, dan vitalitas dari staf sekolah, siswa, dan komunitas/masyarakat).
6. Culture increases the focus of daily behavior and attention on what is important and valued (Budaya meningkatkan fokus pada perilaku keseharian dan perhatian pada apa yang penting dan bernilai/berharga).
D. Aneka Praktik Pengembangan Kultur Sekolah
Kultur sekolah bukan sekedar kultur di sekolah.Kultur sekolah dimiliki oleh tiap-tiap sekolah. Masing-masing sekolah dapat mengembangkan keunikan dan ciri khas melalui kultur sekolah. Oleh karenanya terdapat variasi kultur di sejumlah sekolah. Pengembangan kultur di masing-masing sekolah dapat disesuaikan dengan aspek-aspek yang dianggap penting oleh masing-masing sekolah, seperti: visi-misi, kondisi dan potensi sekolah.
Sejumlah sekolah lebih menekankan kultur sekolah yang fokus untuk mendorong pencapaian prestasi akademik. Namun sejumlah sekolah yang lain lebih fokus pada aspek non-akademik. Hal tersebut sangat dimungkinkan, mengingat para siswa yang mendapatkan layanan pendidikan memiliki kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang bervariasi.
Adapun kultur sekolah yang dapat dikembangkan antara lain yang kondusif bagi pengembangan:
1. Prestasi Akademik
Di sekolah yang menghargai prestasi akademik, terjadi proses penciptaan iklim akademik (academic athmosphere) yang bertujuan untuk mencapai prestasi akademik. Prestasi akademik ini biasanyaterkait dengan sejumlah mata pelajaran pokok yang dipelajari di sekolah. Sebagian besar orang tua siswa cenderung menghargai prestasi akademik daripada prestasi lainnya.
2. Non-Akademik
Prestasi non-akademik juga dapat dikembangkan melalui kultur sekolah yang menghargai prestasi olah-raga, seni, dan ketrampilan lainnya. Nilai-nilai kreativitas dan demokrasi juga dapat dikembangkan melalui kultur sekolah yang memberi ruang (space) yang memadai, sehingga siswa memiliki keleluasaan untuk berpartisipasi, berkreasi, berpikir secara kritis, berperilaku humanis. Selama ini kebanyakan sekolah menganggap penting prestasi akademik siswa. Profil kecerdasan majemuk siswa yang bervariasi seringkali terabaikan. Padahal dalam realitasnya, kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan oleh prestasi akademik yang telah dimiliki, melainkan juga disebabkan oleh prestasi non-akademiknya.
3. Karakter
Karakter berkaitan dengan moral dan berkonotasi positif. Pendidikan untuk pembangunan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong, dan memudahkan seseorang mengembangkan kebiasaan yang baik. Karakter bersifat inside-out,maksudnya bahwa perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan baik ini terjadi karena adanya dorongan dari dalam,bukan karena paksaan dari luar (HB X, 2012). Adapun variasi nilai karakter yang dapat dikembangkan melalui kultur sekolah antara lain: yang kondusif bagi pengembangan nilai-nilai religius, nilai demokrasi, kedisiplinan, kejujuran, ramah anak, anti kekerasan, dan lain-lain.
4. Kelestarian Lingkungan Hidup
Sejumlah sekolah di berbagai level (SD, SMP, SMA) mendapatkan penghargaan dan predikat sebagai sekolah adiwiyata, yaitu sekolah menjaga kelestarian lingkungan hidup. Penghargaan tersebut perlu diapresiasi dalam menstimulasi terwujudnya sekolah berwawasan lingkungan. Namun demikian, predikat sekolah adiwiyata tidak muncul dengan sendirinya tanpa diupayakan melalui pengembangan kultur sekolah ramah lingkungan.Sejumlah sekolah yang fokus dalam pengembangan sekolah hijau (green school) memiliki visi-misi yang berorientasi pada kehidupan dan kondisi lingkungan masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan (sustainability). Untuk mewujudkannya, memerlukan komitmen bersama seluruh warga sekolah dalam pengembangan kultur sekolah yang ramah lingkungan.
Demikian tadi sejumlah contoh kultur sekolah yang dapat dikembangkan oleh tiap-tiap sekolah. Masih terbuka bagi sejumlah alternatif lain sesuai karakteristik dan kreativitas masing-masing sekolah. Program sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan dan mengembangkan kultur sekolah dapat bervariasi karena tidakada model tunggal. Setiap sekolah memiliki tujuan umum pendidikan yang relatifsama (universal), namun sebagai sub-kultur, setiap sekolah dapat mengembangkan kultur sekolah yang khas (relatif) sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh institusi sekolah. Sub-kultur tersebut biasanya identik dengan kultur di masyarakat yang lebih luas. Dengan adanya variasi tersebut, setiap sekolah memiliki peluang untuk menjadi sekolah unggul, dengan keunggulan masing-masing yang khas. Setiap sekolah bahkandapat saling mengisi secara kolaboratif, bukannya bersaing secara kompetitif. Semua kembali kepada bagaimana dan kemana pimpinan sekolah akan membawa dan mengarahkan sekolahnya. Bukankah pimpinan sekolah memiliki peran sentral dalam membagikan nilai (shared values) dan mengkomunikasikan visi-misi sekolah kepada seluruh warga sekolah?
E. Penutup
Kultur sekolah memiliki peran simbolik dalam membentuk pola kultural dalam praktik kehidupan di sekolah. Kultur sekolah merupakan faktor kunci yang menentukan pencapaian prestasi akademik maupun non akademik, dan keterlaksanaan proses pembelajaran bagi siswa. Kultur sekolah meliputi faktor material yang tangible dan non- material yang intangible. Realitas menunjukkan bahwa kunci keberhasilan pendidikan seringkali justru terletak pada faktor yang tak terlihat. Karenanya, menekankan perbaikan pendidikan di sekolah pada proses restrukturisasi semata, tidak lagi memadai.
Namun demikian, restrukturisasi yang bersifat struktural dan rekonstruksi yang bersifat kultural tidak perlu saling menegasikan dalam praktiknya.Dalam pengembangan kultur sekolah, terdapat aneka pilihan alternatif yang dapat disesuaikan dengan visi-misi dan kondisi sekolah, serta profil siswa dalam aneka kecerdasan majemuk Sebagai sub-kultur, setiap sekolah dapat mengembangkan kultur sekolah yang khas sesuai dengan potensi yang dimiliki, yang bisa jadi identik dengan kultur masyakarat yang lebih luas. Dengan adanya variasi tersebut, setiap sekolah memiliki peluang yang sama untuk membanggakan keunggulan sekolah masing-masing yang khas. Semua ini tergantung pada peran pimpinan sekolah yang dapat menggerakkan dan mengkomunikasikan visi-misi sekolah kepada seluruh warga sekolah.
Referensi :
Efianingrum, Ariefa. _Kultur Sekolah_, Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 1, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar