Minggu, 25 April 2021

Laporan Bahan Bacaan Manjemen Kelas


Nama : Nurhafiza

NIM :11901338

Kelas : PAI 4E

Makul : Magang 1

Dosen pengampu : Farninda Aditya, M.Pd


 Manajemen Kelas

Perlunya kemampuan mengelola kelas yang dimiliki oleh seorang guru karena pembelajaran adalah proses membantu siswa belajar, yang ditandai dengan perubahan perilaku baik dalam aspek kognitif maupun psikomotorik. (Sunaryo dan Nyoman, 1996: 75) 

Dampak pembelajaran dapat dibedakan ke dalam bentuk langsung atau proses interaksi antara guru dan peserta didik, antara peserta didik dengan iklim atau suasana belajar yang dikembangkan. Hal ini diperlukan supaya sistematik yang berkaitan dengan pengembangan lingkungan belajar yang diciptakan oleh guru agar tujuan pembelajaran tercapai.

Pengertian Manajemen

 Kata manajemen berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata manus  yang berarti tangan dan agree yang berarti melakukan. Kata-kata itu digabung menjadi kata kerja manager yang artinya menangani. Managere diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dalam bentuk kata kerja to manage, dengan kata benda management, dan manager untuk melakukan kegiatan manajemen. Akhirnya, manahement diterjemah-kan ke dalam bahasa Indonesia menjadi manajemen atau pengelolaan (Usman, 2004).

Sejathi menguraikan bahwa, “arti dari manajemen adalah pengelolaan, penyelenggaraan, ke tatalaksanaan penggunaaan sumber daya secara efektif untuk mencapai tujuan/sasaran yang diinginkan”. Dengan begitu, pengelolaan/manajemen adalah penyelenggaraan atau pengurusan agar sesuatu yang dikelola dapat berjalan dengan lancar, efektif dan efisien. Sementara itu, pengertian manajemen menu-rut  Terry adalah “suatu proses atau kerangka kerja, yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu kelompok orang-orang ke arah tujuan-tujuan organisasional atau maksud-maksud yang nyata”. Manajemen juga adalah suatu ilmu pengetahuan maupun seni. Seni adalah suatu pengetahuan kecakapan yang diperoleh dari pengalaman, pengamatan dan pelajaran serta kemampuan untuk menggunakan pengetahuan manajemen.

Lain halnya menurut Stoner & Freeman,  manajemen adalah “suatu proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian upaya anggota organisasi dan menggunakan semua sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan”.

Dengan demikian, manajemen adalah  suatu kegiatan untuk menciptakan dan memertahankan kondisi yang optimal  bagi terjadinya proses belajar  di dalamnya mencakup pengaturan orang (siswa) dan fasilitas, yang dikerjakan  mulai terjadinya kegiatan pembelajaran di dalam kelas sampai berakhirnya pembelajaran di dalam kelas.


Pengertian kelas

Pengertian  umum mengenai kelas, yaitu sekelompok siswa pada waktu yang sama menerima pelajaran yang sama dari guru yang sama pula. Sementara, kelas menurut pengertian umum dapat dibedakan atas dua pandangan, yaitu pandangan dari segi fisik dan pandangan dari segi siswa.  Nawawi  memandang kelas dari dua sudut yaitu:

Kelas dalam arti sempit yaitu, ruangan yang dibatasi oleh empat dinding, tempat sejumlah siswa berkumpul untuk mengikuti proses belajar mengajar. Kelas dalam pengertian ini, mengandung sifat statis karena sekedar menunjuk pengelompokan siswa menurut tingkat perkembangannya, antara lain berdasarkan pada batas umur kronologis masing-masing. 

Kelas dalam arti luas yaitu suatu masyarakat kecil yang merupakan bagian dari masyarakat sekolah, yang sebagai satu kesatuan diorganisir menjadi unit kerja yang secara dinamis menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang kreatif untuk mencapai suatu tujuan.

Sementara iru, menurut Hamalik ”Kelas adalah suatu kelompok orang yang melakukan kegiatan belajar bersama yang mendapat pengajaran dari guru”. Sedangkan  menurut Ahmad (1995:1) “Kelas ialah ruangan belajar dan atau rombongan belajar”. Sulaeman (2009) mengartikan bahwa kelas dalam arti umum menunjukkan kepada pengertian sekelompok siswa yang ada pada waktu yang sama menerima pelajaran yang sama dan dari guru yang sama pula. Kelas dalam arti luas merupakan bagian dari masyarakat kecil yang sebagian adalah suatu masyarakat sekolah yang sebagian suatu kesatuan di organisasi menjadi unit kerja secara dinamis menyelenggarakan kegiatan-kegiatan.

Menurut Hamiseno (2009) “Kelas adalah ruangan yang digunakan untuk proses belajar mengajar yang efektif dan menguntungkan serta dapat memotivasi  siswa untuk belajar dengan baik sesuai kemampuan”. Kelas merupakan taman belajar bagi siswa. Kelas adalah tempat bagi para siswa untuk tumbuh dan berkem-bangnya potensi  intelektual dan omosional. Mengingat kelas hendak-nya dimanajemen sedemikian rupa sehingga benar-benar merupakan belajar yang nyaman dan menyenangkan. 

Sedangkan syarat-syarat kelas yang baik yaitu:

  1. Rapi,bersih,sehat, tidak lembab, 
  2. Cukup cahaya yang meneranginya,
  3. Sirkulasi udara cukup, 
  4. Perabot dalam keadaan baik,cukup jumlah dan ditata dengan  rapi, dan
  5. Jumlah siswa tidak lebih dari 40 orang.


Pengertian Manajemen Kelas

Pengertian manajemen kelas dari beberapa pakar antara lain, Weber.W.A. (1988), mendefenisikan manajemen kelas sebagai ompleks of teaching behavior of teacher efficient instruction” yang mengandung pengertian bahwa segala usaha yang diarahkan untuk mewujudkan suasana belajar yang efektif dan menyenangkan serta memotivasi murid agar dapat belajar dengan baik. Eferstson dan Emmer mendeskripsikan manajemen sebagai  “those teacher behavior that  produceshigh levels of student infolfoment classroom activities and minimize student behaviors that interfiris with  dan pencapaianthe teachers or other students work and efficient use of instructional time (1998). Houston at al (1988), menegaskan bahwa “ Without effective mamanagement the learning process student for interfering with instruction“, yang mengandung pengertian bahwa tanpa manajemen yang efektif proses belajar mengajar menjadi kacau sehingga guru akan menegur murid-muridnya yang mengganggu proses belajar mengajar.

Johson dan Bany, (1970) menguraikan bahwa manajemen kelas adalah merupakan keterampilan yang harus dimiliki guru dalam memutuskan, memahami, mendiagnosis dan kemampuan bertindak menuju perbaikan suasan kelas terhadap aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam manajemen kelas adalah: sifat kelas, pendorong kekuatan kelas, situasi kelas, tindakan seleksi dan kreatif. Sementara Adnan Sulaeman (2009) mendefinisikan manajemen kelas merupakan serangkaian perilaku guru dalam upaya menciptakan dan memelihara kondisi kelas yang memungkinkan peserta didik mencapai tujuan belajar mencapai tujuan belajar secara efesien atau memungkinkan pesrta didik belajar dengan baik. Ahmad Sulaiman, (1995) mendefinisikan manajemen kelas adalah segala usaha yang diarahkan untuk mewujudkan suasana belajar mengajar yang efektif yang menyenangkan serta dapat memotivasi siswa untuk belajar dengan baik sesuai kemampuan. 

Arikunto, (2006) mendefinisikan  manajemen kelas adalah suatu usaha yang dilakukan penanggung jawab kegiatan belajar mengajar apa yang membantu dengan maksud agar dicapai kondisi yang optimal,sehingga dapat terlaksana kegiatan belajar seperti yang diharapkan. Muliyasa (2006) mendefinisikan manajemen kelas merupakan keterampilan guru untuk menciptakan iklim pembelajaran kondusif dan mengendalikannya jika terjadi gangguan dalam pembelajaran.”

Berdasarkan pandangan pendekatan operasional tertentu  (Disari-kan dari Wiford A. Weber, 1986) manajemen kelas adalah seperangkat kegiatan guru untuk menciptakan dan memertahankan ketertiban suasana kelas melalui penggunaan disiplin (pendekatan otoriter), yang terdiri atas perangkat-perangkat, yakni 

  1. Seperangkat kegiatan guru untuk menciptakan dan mempertahankan ketertiban suasana kelas melalui intimidasi (pendekatan intimidasi).
  2. Seperangkat kegiatan guru untuk memaksimalkan kebebasan siswa (pendekatan permisif).
  3. Seperangkat kegiatan guru untuk menciptakan suasana kelas dengan cara mengikuti petunjuk/resep yang telah di sajikan (pendekatan buku masak). 
  4. Seperangkat kegiatan guru untuk menciptakan suasana kelas yang efektif melalui perencanaan pembelajaran yang bermutu dan dilaksanakan dengan baik (pendekatan instruksional).
  5. Seperangkat kegiatan guru untuk mengembangkan tingkah laku peserta didik yang diinginkan dengan mengurangi tingkah laku yang tidak diinginkan (pendekatan pengubahan tingkah laku). 
  6. Seperangkat kegiatan guru untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang baik dan iklim sosio emosional kelas yang positif (pendekatan penciptaan iklim sosioemosional).
  7. Seperangkat kegiatan guru untuk menumbuhkan dan    memertahankan organisasi kelas yang efektif (pendekatan sistem sosial) Arikunto, (2004).

Selaian definisi di atas, definisi manajemen kelas atau pengelolaan kelas yang dipetik dari informasi Pendidikan Nasional bahwa ada lima definisi pengelolaan kelas sebagaimana berikut ini.

  1. Pengelolaan  kelas yang bersifat otoritatif, yakni seperangkat kegiatan guru untuk menciptakan dan memertahankan ketertiban suasana kelas, disiplin sangat diutamakan.
  2. Pengelolan kelas yang bersifat permisif, yakni pandangan ini menekankan bahwa tugas guru ialah memaksimalkan perwujudan kebebasan siswa. Dalam hal ini guru membantu siswa untuk merasa bebas melakukan hal yang ingin dilakukannya. Berbuat sebaliknya berarti guru menghambat atau menghalangi perkembangan anak secara alamiah.
  3. Pengelolaan  kelas  yang berdasarkan  prinsip-prinsip pengubahan tingkah laku (behavioral modification), yaitu seperangkat kegiatan guru untuk mengembangkan tingkah laku siswa yang diinginkan dan mengurangi atau meniadakan tingkah laku yang tidak diinginkan. Secara singkat, guru membantu siswa dalam memelajari tingkah laku yang tepat melalui penerapan prinsip-prinsip yang diambil dari teori penguatan (reinforcement).
  4. Pengelolaan kelas sebagai proses penciptaan iklim sosio-emosional yang positif di dalam kelas. Pandangan ini mempunyai anggaran dasar bahwa kegiatan belajar akan berkembang secara maksimal di dalam kelas yang beriklim positif, yaitu suasana hubungan interpersonal yang baik antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Untuk terciptanya suasana seperti ini guru memegang peranan kunci. Peranan  guru ialah mengembangkan 
  5. iklim sosio-emosional kelas yang positif melalui pertumbuhan hubungan interpersonal yang sehat. Dengan demikian, pengelolaan kelas ialah seperangkat kegiatan guru untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang baik dan iklim sosio-emosional kelas yang positif.

Pengelolaan kelas yang bertolak dari anggapan bahwa kelas merupakan sistem sosial dengan proses kelompok (group process) sebagai intinya. Dalam kaitan ini dipakailah anggapan dasar bahwa pengajaran berlangsung dalam kaitannya dengan suatu kelompok. Dengan demikian, kehidupan kelas sebagai kelompok dipandang mempunyai pengaruh yang amat berarti terhadap kegiatan belajar, meskipun belajar dianggap sebagai proses individual. Peranan guru ialah mendorong berkembangnya dan berprestasinya sistem kelas yang efektif. Dengan demikian, pengelolaan kelas ialah seperangkat kegiatan guru untuk menumbuhkan dan memertahankan organisasi kelas yang efektif (Depdikbud, 1982).


Tujuan dan  Manajemen Kelas

Manajemen kelas pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Adapun kegiatan pengelolaan fisik dan pengelolaan sosio-emosional merupakan bagian dalam pencapaian tujuan pembelajaran belajar siswa.

Tujuan pengelolaan Kelas (A.C. Wragg : 25):

Anak-anak memberikan respon yang setimpal terhadap perlakuan yang sopan dan penuh perhatian orang dewasa.

Mereka akan bekerja dengan rajin dan penuh konsentrasi dalam melakukan tugas-tugas yang sesuai dengan kemempuannya.

Indikator Keberhasilan dalam pengelolaan kelas adalah (Alam S:2003):

Terciptanya suasana/ kondisi belajar mengajar yang kondusif (tertib, lancar, berdisiplin dan bergairah).

Terjadinya hubungan interpersonal yang baik antara guru dengan siswan dan antara siswa dengan siswa.

Tujuan manajemen kelas (Dirjen PUOD dan Dirjen Dirjen Dikdasmen:1996):

Mewujudkan situasi dan kondisi kelas, baik sebagai lingkungan belajar maupun sebagai kelompok belajar, yang memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan kemapuan semaksimal mungkin.

Menghilangkan berbagai hambatan yang dapat menghalangi terwujudnya interaksi pembelajaran.

Menyediakan dan mengatur fasilitas serta perabot belajar yang mendukung dan memungkinkan siswa belajar sesui dengan lingkungan sosiol, emosional dan intelektual siswa dalam kelas.

Membina dan membimbing siswa sesui dengan latar belakang sosial, ekonomi, budaya serta sifat-sifat individualnya.

Johon W. Santrock (2004) dikutip dari (Mulyadi, 2009:5) berpendapat bahwa manajemen kelas yang efektif bertujuan membantu sisa menghabiskan lebih banayk waktu belajar dan mengurangi waktu aktivitas yang tidak diorientasikan pada tujuan pembelajaran dan mencegah siswa mengalami promblem akademik dan emosional. Kelas yang dikelola dengan baik tidak hanya akan meningkatkan pembelajaran yang berarti, tetapi juga membantu mencegah berkembangnya problem emosional dan akademik. Kelas yang dikelola dengan baik akan membuat siswa sibuk dengan tugas yang menantang dan akan membuat siswa sibuk dengan tugas yang menantang dan akan memberikan aktivitas dimana siswa menjadi terserap ke dalamnya, termotivasi belajar, memahami aturan dan regulasi yang harus dipatuhi. Dalam kelas seperti itu, kecil kemungkinannya siswa mengalami masalah emosional dan akademik. Sebaliknya kelas yang dikelola dengan buruk, problem emosional dan akademik akan menjadi makin tidak termotivasi secara akademik akan menjadi makin tidak termotivasi. Siswa yang pemalu akan menjadi reklusif dan siswa yang bandel akan makin 




REFERENSI

Sunhaji, Konsep Manajemen Kelas dan Implikasinya dalam Pembelajaran. Jurnal Kependidikan, Vol. II No. 2 November 2014

Nur, Muhammad Sidiq. Manajemen Pendidikan. I June 2017


Sabtu, 17 April 2021

Laporan Bahan Bacaan Mengenai Manajemen Sekolah

Nama : Nurhafiza
NIM    : 11901338
Kelas : PAI 4E
Makul: Magang 1
Dosen Pengampu : Farninda Aditya, M.Pd

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Baiklah dengan adanya blog saya ini merupakan laporan bahan bacaan saya mengenai materi "Manajemen Sekolah"  untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Magang 1. 

Konsep Manajemen Sekolah

Manajemen dalam arti luas adalah perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan secara efektif dan efesien. Sedangkan, manajemen dalam arti sempit adalah manajemen sekolah/ madrasah yang meliputi: perencanaan program sekolah/ madrasah, pelaksanaan program sekolah/ madrasah, kepemimpinan kepala sekolah/ madrasah, pengawas/ evaluasi, dan sistem informasi sekolah/ madrasah. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal harus mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh peserrta didik. Potensi tersebut meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. 

Manajemen sekolah merupakan proses mengelola sekolah melalui perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan sekolah agar mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Kepala sekolah sebagai manajer sekolah menempati posisi yang telah ditentukan di dalam organisasi sekolah. Salah satu perioritas kepala sekolah dalam manajemen sekolah ialah manajemen pembelajaran.

Manajemen Sekolah merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara efektif dan efisien untuk meningkatkan kinerja sekolah dalam pencapaian tujuan pendidikan baik tujuan nasional dan tujuan kelembagaan yang hasilnya bisa dilihat dari beberapa faktor sebagai indikator kinerja yang berhasil dicapai oleh sekolah. 

Manajemen sekolah juga diartikan sebagai proses, dalam arti serangkaian kegiatan yang diupayakan kepala sekolah bagi kepentingan sekolahnya. Dan segala proses pendayagunaan semua komponen, baik komponen manusia maupun non manusia, yang dimiliki sekolah dalam rangka mencapai tujuan secara efisien. Tujuan manajemen sekolah: guna membantu pencapaian visi, misi, tujuan tahunan dan program-program sekolah.

Fungsi Manajemen Sekolah 

Secara umum ada empat fungsi manajemen yang banyak dikenal masyarakat yaitu fungsi perencanaan (planning), fungsi pengorganisasian (organizing), fungsi  pengarahan (directing) dan fungsi pengendalian (controlling). Untuk fungsi pengorganisasian terdapat pula fungsi staffing (pembentukan staf). 

Dalam proses manajemen terlibat fungsi-fungsi pokok yang ditampilkan oleh seorang pimpinan, menurut Yamin dan Maisah (2009: 2), yaitu "perencanaan (planning) pengorganisasian (organizing), kepemimpinan (leading), dan pengawasan (controlling).

Garapan Manajemen Sekolah 

Manajemen pendidikan adalah bagian dari proses manajemen sekolah, karena merujuk pada penataan sumber daya manusia, kurikulum, fasilitas, sumber belajar dan dana serta upaya mendapai tujuan lembaga sekolah secara dinamis. Manajemen pendidikan merupakan suatu sistem pengelolaan dan penataan sumber daya pendidikan, seperti tenaga kependidikan, peserta didik, masyarakat, kurikulum, danan (keuangan), sarana dan prasarana pendidikan, tata laksana dan lingkungan pendidikan. Soepardi (Mulyasa, 2013:11) mengungkapkan bahwa "Garpan manajemen pendidikan meliputibidang; organisasi kurikulum, perlengkapan pendidikan, media pendidikan, personil pendidikan, hubungan kemanusiaan, dan dana finansial atau keluarga". 

Prinsip Manajemen Sekolah

Dalam mengembangkan sekolah perlu adanya Teori dan konsep yang matang dan terencana untuk digunakan dalam mengelola sekolah. Pengembangan tersebut didasarkan pada empat prinsip, yaitu:

1. Equifinality
Prinsip ini berdasarkan teori modern yang berasumsi bahwa terdapat beberapa metode yang berbeda dalam pencapaian tujuan. Manajemen sekolah bermutu lebis menekankan fleksibilitas. Untuk itu sekolah wajib mandiri dan mengelola seluruh aktifitasnya bersama warga sekolah menurut kondisi mereka masing-masing. Karena rumitnya job deskription sekolah saat ini dan adanya perbedaan yang signifikan antara sekolah satu dengan yang lainnya, contoh konkritnya adalah perbedaan input peserta didik, sarana prasarana dan situasi akademik sekolah, sekolah tidak dapat dijalankan dengan struktur yang sama di seluruh kota, provinsi, apalagi Negara. 
Pendidikan sebagai komunitas yang sangat fleksibel dan terbuka terhadap berbagai perubahan yang terus berkembang. Oleh itu, tidak diragukan lagi bila sekolah akan mendapatkan berbagai masalah seperti halnya institusi umum lainya. 
Tantangan tersebut harus dijawab dengan tuntas oleh sekolah. Sekolah harus mampu memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapinya dengan cara yang paling tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Walaupun sekolah satu mungkin memiliki masalah yang sama, cara penyelesaiannya akan berbeda antara sekolah satu dengan sekolah yang lainnya. 

2. Decentralization
Desentralisasi adalah gejala yang penting dalam reformasi manajemen sekolah modern. Prinsip desentralisasi ini konsisten dengan prinsip ekuifinaltias. Prinsip desentralisasi dilKitasi oleh teori dasar bahwa pengelolaan sekolah dan aktivitas pengajaran tak dapat dielekakan dari kesultian dan permasalahan. Pendidikan adalah masalah yang rumit dan kompleks sehingga  memerlukan desentralisasi dalam pelaksanaannya.
Prinsip ekuifinalitas yang dikemukakan sebelum mendorong adanya desentralisasi kekuasaan 
dengan mempersilahkan sekolah memiliki ruang yang lebih luas untuk bergerak, berkembang, dan bekerja menurut strategi-strategi unik mereka untuk menjalani dan mengelola sekolahnya secara efektif.
Oleh karena itu, sekolah harus diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memecahkan memecahkan masalahnya secara efektif dan secepat mungkin ketika masalah itu muncul. Dengan kata lain, tujuan dari prinsip desentralisasi adalah efisiensi dalam pemecahan masalah, bukan menghindari masalah. Oleh karena itu, manajemen sekolah bermutu harus mampu menemukan masala, memecahkannya tepat waktu dan memberi sumbangan yang lebih besar terhadap efektivitas pengajaran dan pembelajaran. Tanpa adanya desentralisasi kewenangan sekolah tidak dapat dilakspeserta didikan dan akan berakibat terlambatnya pemecahan masalah secara cepat, tepat, dan efisien. 

3. Self-Management System
Manajemen sekolah bermutu perlu mencapai tujuan-tujuan berdasarkan kebijakan yang telah ditetapkan, tetapi terdapat berbagai metode-metode yang berbeda dalam mencapainya. Manajemen sekolah yang bermutu harus menyadari bahwa pentingnya mempersilahkan sekolah menjadi sistem pengelolaan secara mandiri di bawah kebijakannya sendiri. Sekolah memiliki otonomi tertentu untuk mengembangkan tujuan pengajaran strategi manajemen, distribusi sumber daya manusia dan sumber daya lainnya, memecahkan masalah, dan mencapai tujuan berdasarkan kondisi mereka masing-masingsesuai dengan SDM dan kemampuannya. Karena sekolah dikelola secara mandiri maka sekolah lebih memiliki inisiatif dan tanggung jawab sendiri. 
Prinsip ini terkait dengan prinsip sebelumnya, yaitu prinsip ekuifinalitas dan prinsip desentralisasi. Ketika sekolah menghadai permasalahan maka harus diselesaikan dengan caranya sendiri. Sekolah dapat menyelesaikan masalahnya bila telah terjadi pelimpahan wewenang dari birokrasi di atasnya ke tingkat sekolah. Dengan adanya kewenangan di tingkat sekolah itulah maka sekolah dapat melakukan sistem pengelolaan mandiri. 

4. Human Initiative
Perspektif sumber daya manusia menekankan bahwa orang adalah sumber daya berharga di dalam organisasi sehingga poin utama manajeman adalah mengembangkan sumber daya manusia di adalam sekolah untuk berinisitatif. Berdasarkan perspektif ini maka Manajemen Sekolah bertujuan untuk membangun lingkungan yang sesuai untuk warga sekolah agar dapat bekerja dengan baik dan mengembangkan potensinya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas pendidikan dapat diukur dari perkembangan aspek sumber daya manusianya. 
Prinsip ini mengakui bahwa manusia bukanlah sumber daya yang statis, melainkan dinamis. Oleh karena itu, potensi sumber daya manusia harus selalu digali, ditemukan, dan kemudian dikembangkan. Sekolah dan lembaga pendidikan yang lebih luas tidak dapat lagi menggunakan istlah staffing yang konotasinya hanya mengelola manusia sebagai barang yang statis. Lembaga pendidikan harus menggunakan pendekatan human resources development yang memiliki konotasi dinamis dan aset yang amat penting dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan.
Ruang Kajian Manajemen Sekolah
Untuk mengetahui ruang lingkup Manajemen Sekolah dalam pendidikan, penulis harus melihat dari 4 sudut pandang, yaitu; dari sudut obyek garapan, fungsi atau urutan kegiatan, wilayah kerja, dan pelaksana.
Sebagai contoh penjelasan mengenai ruang lingkup manajemen sekolah
1. Berdasarkan Obyek Garapan
Ruang Lingkup Menurut Objek Garapan adalah Seluruhaktifitas manajemen sekolah secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam kegiatan mendidik di sekolah, yaitu:

a. Manajemen Peserta Didik

Apa yang dimaksud dengan Manajemen Peserta Didik? Knezevich (1961) mengartikan manajemen peserta didik atau pupil personnel administration sebagai suatu layanan yang memusatkan perhatian pada pengaturan, pengawasan dan layanan Peserta didik di kelas dan di luar kelas seperti: pengenalan, pendaftaran, layanan individual seperti pengembangan keseluruhan kemampuan, minat, kebutuhan sampai ia matang di sekolah. 
Tujuan umum manajemen peserta didik adalah: mengatur kegiatan-kegiatan peserta didik agar kegiatan-kegiatan tersebut menunjang proses belajar mengajar di sekolah; lebih lanjut, proses belajar mengajar di sekolah dapat berjalan lancar, tertib dan teratur sehingga dapat memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan sekolah dan tujuan pendidikan secara keseluruhan. Tujuan khusus manajemen peserta didik, yaitu (1) meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan psikomotor peserta didik; (2) menyalurkan dan mengembangkan kemampuan umum (kecerdasan), bakat dan minat peserta didik; (3) menyalurkan aspirasi, harapan dan memenuhi kebutuhan peserta didik; (4) dengan terpenuhinya 1, 2, dan 3 di atas diharapkan peserta didik dapat mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang lebih lanjut dapat belajar dengan baik dan tercapai cita-cita mereka.

b. Manajemen personil sekolah

Proses kegiatan yang direncanakKitan diusahakaan secara sengaja untuk pembinaan secara kontinu para pegawai di sekolah, sehinggga mereka dapat memabantu/menunjang kegiatan sekolah secara efektif dan efisien demi tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Para personel harus dikelola dengan baik agar mereka senantiasa aktif dan bergairaah dalam menjalankan tugasnya sehari-hari.
Upaya-upaya untuk merencanakan kebutuhan pegawai (SDM), mengadakan, menyeleksi, menempatkan, dan memberi penugasan secara tepat telah menjadi perhatian penting pada setiap organisasi yang kompetitif. Demikian pula kebijakan kompensasi (penggajian dan kesejahteraan) dan penilaian kinerja yang dilakukan dengan adil dan tepat dapat melahirkan motivasi berprestasi pada para pegawai. Fungsi-fungsi manajemen kepegawaian seperti itu masih belum cukup, apabila tidak disertai dengan kebijakan pengembangan dan pemberdayaan pegawai yang dilakukan secara sistematik.
Ada lima aspek kajian manajemen kepegawaian, yaitu:
(1) perencanaan kebutuhan,
(2) rekrutmen dan seleksi,
(3) pembinaan dan pengembangan,
(4) mutasi dan promosi, dan
(5) kesejahteraan
Manajemen SDM mencakup kegiatan sebagai berikut. (1) Perencanaan SDM, (2) analisis pekerjaan, (3) pengadaan pegawai, (4) seleksi pegawai, (5) orientasi, penempatan dan penugasan, (6) konpensasi, (7) penilaian kinerja, (8) pengembangan karir, (9) pelatihan dan pengembangan pegawai, (10) penciptaan mutu kehidupan kerja, (11) perundingan kepegawaian, (12) riset pegawai, dan (13) pensiun dan pemberhentian pegawai.

c. Manajemen Kurikulum

Secara operasional kegiatan manajemen kurikulum meiputi 3 pokok kegiatan, yakni kegiatan yang behubungan dengan Pendidik, peserta didik, dan seluruh civitas Akademika (warga sekolah).

d. Manajemen sarana dan prasarana

Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu sumber daya yang penting dan utama dalam menunjang kegiatan belajar mengajar di sekolah, untuk itu perlu dilakukan peningkatan dalam pendayagunaan dan pengelolaannya, agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. 
Untuk mengoptimalkan penyediaan, pendayagunaan, perawatan dan pengendalian sarana dan prasarana pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan, diperlukan penyesuaian manajemen sarana dan prasarana. Sekolah dituntut memiliki kemandirian untuk mengatur dan menPendidiks kepentingan sekolah menurut kebutuhan dan kemampuan sendiri serta berdasarkan pada aspirasi dan partisipasi warga sekolah dengan tetap mengacu pada peraturan dan perundangan-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Hal itu terutama ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan pada semua jenis dan jenjang pendidikan, khususnya pada pendidikan dasar dan menengah.
Untuk mewujudkan dan mengatur hal tersebut, maka pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 tetang Standar Nasional Pendidikan yang menyangkut standarsarana dan prasarana pendidikan secara nasional pada Bab VII Pasal 42 dengan tegas disebutkan bahwa; 
(1) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. 
(2) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolah raga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat bekreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
a. Rincian manajemen sarana prasarana di sekolah meliputi berikut ini.
1) Analisis kebutuhan sarana dan prasarana sekolah
2) Perencanaan dan pengadaan sarana dan prasarana sekolah
3) Pendistribusian sarana dan prasarana sekolah
4) Penataan sarana dan prasarana sekolah
5) Pemanfaat sarana dan prasarana sekolah secara efektif dan efisien
6) Pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah
7) Inventarisasi sarana dan prasarana sekolah
8) Penghapusan sarana dan prasarana sekolah
9) Pemantauan kinerja penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah
10) Penilaian kinerja penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah
b. Manajemen sarana prasarana dapat juga difokuskan pada:
1) Merencanakankebutuhan fasilitas (bangunan, peralatan, perabot, lahan, infrastruktur) sekolah sesuai dengan rencana pengembangan sekolah
2) Mengelola pengadaan fasilitas sesuai dengan peraturan yang berlaku
3) Mengelola pemeliharaan fasilitas, baik perawatan preventif maupun perawatan terhadap kerusakan fasilitas sekolah
4) Mengelola kegiatan inventaris sarana dan prasarana sekolah sesuai dengan sistem pembukuan yang berlaku

e. Manajemen tatalaksana

Manajemen tatalaksana merupakan serangakian kegiatan mencatat, menyimpan, menggKitakan, menghimpun, mengolah, dan mengirim benda-benda trertulis serta warkat yang pada hakikatnya menunjang seluruh garapan manajemen sekolah.

f. Manajemen pembiayaan/Keuangan

Manajemen ini bertujuan untuk memberikan pelayanan yang maksimal dalam hal pembiayaan sekolah yang meliputi biasa internal dan eksternal serta pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel.
Manajemen keuangan merupakan salah satu gugusan substansi administrasi pendidikan yang secara khusus menangani tugas-tugas yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan yang dimiliki dan digunakan di sekolah. Menurut para pakar administrasi pendidikan, manajemen keuangan pendidikan dapat diartikan sebagai keseluruhan proses pemerolehan dan pendayagunaan uang secara tertib, efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka memperlancar pencapaian tujuan pendidikan.
Tujuan manajemen keuangan di sekolah adalah untuk mengatur sedemikian rupa sehingga semua upaya pemerolehan dana dari berbagai sumber dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Ada beberapa prinsip yang perlu dipegang teguh dalam manajemen keuangan di sekolah, yaitu sebagai berikut:
1) Sumber dana pendidikan di sekolah tidak sedikit, tidak hanya dari Pemerintah atau yayasan yang menaunginya. sekolah bisa secara kreatif mencari sumber-sumber dana pendidikan dalam rangka eksistensinya sebagai sekolah prasekolah. Namun dalam upaya memperoleh dana pendidikan dari berbagai sumber dana, hendaknya dana yang tidak mengikat lembaga atau sekolah.
2) Dana pendidikan yang tersedia atau ada harus dimanfaat sekolah secara efektif dan efisien. Efektif berarti semua dana yang ada digunakan semata-mata untuk pendidikan sekolah. Sedangkan efisien berarti dana yang tersedia, berapapun banyaknya, harus didayagunakan sehemat mungkin. Agar memenuhi prinsip tersebut, maka dianjurkan agar setiap pendayagunaan dana selalu didahului dengan kegiatan perencanaan anggaran.
3) Semua manajemen keuangan di sekolah hendaknya didasarkan pada peraturan perundang-undangan keuangan yang berlaku, sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
4) Pelaksanaan manajemen keuangan di sekolah merupakan tanggung jawab kepala sekolah. Namun pelaksanaannya dapat melibatkan sekolah Pendidik-Pendidiknya. Penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBSD) misalnya, merupakan tanggung jawab kepala sekolah.

g. Manajemen organisasi

Salah satu cara yang efektif yang dapat dilakukan oleh sekolah dalam rangka pengembangan organisasi sekolah yaitu dengan adanya pembagian kerja dan tata kerja sekolah.Pembagian kerja harus jelas dan sesuai dengan tugas bidang atau unit yang dipegang sehingga kegiatan operasional pendidikan semakin efektif dan efisien demi membantu tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Pembagian tersebut berupa job description bagi masing-masing unit agar mempermudah koordinasi, pelaksanaan dan penataan tugas di masing-masing bidang atau unit dalam sekolah tau madrasah tersebut.

h. Manajemen humas dan kerjasama.

Manajemen ini bertujuan untuk mendapatkan simapati dari masyarakat pada umumnya serta publiknya pada khususnya, sehingga kegiatan operasional sekolah/pendidikan secara efektif dan efisien, demi membantu tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah (sekolah), keluarga dan masyarakat. Ini mengisyaratkan bahwa orang tua murid dan masyarakat mempumyai tanggung jawab untuk berpartisipasi, turut memikirkan dan memberikan bantuan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Partisipasi yang tinggi dari orang tua murid dalam pendidikan di sekolah merupakan salah satu ciri dari pengelolaan sekolah yang baik, artinya sejauh mana masyarakat dapat diberdayakan dalam proses pendidikan di sekolah adalah indikator terhadap manajemen sekolah yang bersangkutan. Pemberdayaan masyarakat dalam pendidikan ini merupakan sesuatu yang esensial bagi penyelenggaraan sekolah yang baik (Kumars, 1989).

Manajemen Berbasis Sekolah

Manajemen berbasis sekolah adalah model pengelolaan yang memberikan otonomi yang lebih besar kepada kepala sekolah, memberikan fleksibilitas kepada sekolah, mendorong partisipasi secara langsung dari warga sekolah.
Manajemen berbasis sekolah adalah model pengelolaan sekolah dengan memberikan kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah untuk mengelola sekolahnya sendiri secara langsung sehingga sekolah memiliki tanggung jawab dalam menentukan program-program sekolah. Manajemen berbasis sekolah merupakan bentuk reformasi desentralisasi yang mendorong adanya partisipasi demokratis.
Tujuan Utama manajemen berbasis sekolah adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat, dan penyederhanaan birokrasi. Implementasi manajemen berbasis sekolah menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas agar dapat membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefisiensikan sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih. Manajemen berbasis sekolah  memberi peluang pada kepala sekolah dan guru serta peserta didik untuk melakukan inovasi dan improvisasi di sekolah, berkaitan dengan masalah kurikulum, pembelajaran, manajerial, dan lain sebagainya yang tumbuh dari aktivitas, kreativitas dan profesionalisme yang dimiliki.
Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari manajemen berbasis sekolah yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan berikut:
1. Kebijakan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru 
2. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal 
3. Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti,kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.

Efektivitas penerapan manajemen berbasis sekolah berpijak pada 6 hal berikut ini:
1. Otonomi, fleksibilitas dan responsiviats
2. Direncanakan oleh kepala sekolah dan komunitas sekolah
3. Penerapan atau adaptasi aturan baru oleh kepala sekolah
4. Partisipasi dari lingkungan sekolah
5. Kolaborasi antar staff
6. Hubungan baik antara kepala sekolah dan guru

Karakteristik manajemen berbasis sekolah
Sekolah memiliki output yang diharapkan
Proses manajemen memiliki ciri ciri sebagai berikut:
1. Memiliki efektivitas KBM yang tinggi
2. Kepemimpinan sekolah yang kuat
3. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib
4. Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif
5. Sekolah memiliki budaya mutu
6. Sekolah memiliki teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis
7. Sekolah memiliki kewenangan (kemandirian)
8. Partisipasi yang tinggi dari warga sekolah dan masyarakat
9. Sekolah memiliki keterbukaan (transparansi manajemen)
10. Sekolah memiliki kemauan untuk berubah (psikologis dan fisik)
11. Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan
12. Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan
13. Sekolah memiliki akuntabilitas dan komunikasi yang baik
14. Sekolah memiliki manajemen lingkungan hidup yang baik
15. Sekolah memiliki kemampuan menjaga sustainabilitas

Input pendidikan:
- Memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas
- Sumberdaya tersedia dan siap
- Staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi
- Memiliki harapan prestasi yang tinggi
- fokus pada manajemen dan pelanggan (khususnya siswa)

Referensi
Mulyasa, E., 2013. Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Keman-dirian Guru dan Kepala Sekolah. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Nur,Muhammad, dkk. 2016. Manajemen Sekolah Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Pada SDN Dayah Guci Kabupaten Pidie. Jurnal Administrasi Pendidikan Pascasarjana Universitas Syiah Kuala. Volume 4, No. 1 ISSN 2302-0156 

Yamin, H. M. dan Maisah, 2009. Manajemen Pembelajaran Kelas: Strategi Meningkatkan Mutu Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada Press.

Widodo, Andiek dan Nurdyansyah. 2017. Manjemen Sekolah Berbasis ICT. Sidoarjo : Nizamial Learning Center. 

Minggu, 11 April 2021

Kultur Sekolah

 Kultur Sekolah

Sekolah selama ini telah dinilai sebagai lembaga pendidikan yang mapan dan mampu mencetak generasi yang akan menentukan masa depan bangsa. Sebagaimana diketahui, sekolah didefinisikan sebagai bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran (Sunarto, 2004:76).

Proses dan aliran perubahan sosial dalam masyarakat membawa implikasi besar dalam dunia pendidikan. Hal ini karena keberhasilan pengembangan sektor pendidikan diyakini sebagai salah satu penentu kemajuan suatu bangsa. Pendidikan juga membawa misi kebajikan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagaimana konsep pendidikan Tamansiswa yang sistem digagas oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan merupakan sarana perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat. Pendidikan yang tidak disadari oleh kebudayaan akan menghasilkan generasi yang tercerabut dari kehidupan masyarakatnya (HB X, 2012).

Dalam konteks persekolahan (schooling), sekolah memiliki konsekuensi dan tantangan yang semakin berat, terkait dengan tuntutan masyarakat terhadap kualitas dan layanan pendidikan yang seharusnya diberikan. Sekolah dipercaya sebagai institusi yang menjadi arena pengembangan aneka potensi dan kecerdasan majemuk siswa (multiple intelligences). Oleh karena itu, upaya perbaikan sekolah perlu didorong menjadi aktivitas yang melekat (embedded) dalam setiap gerak perubahan sekolah.

A. Pengertian Kultur Sekolah

Menurut Antropologi (Koentjaraningrat, 2003: 72) kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar.

Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir, perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam wujud fisik maupun abstrak. Oleh karena itu, suatu kultur secara alami akan diwariskan oleh suatu generasi kepada generasi berikutnya. Sekolah merupakan lembaga utama yang didesain untuk memeperlancar proses transmisi kultural antar generasi tersebut (Ariefa Efianingrum, 2009: 21).

Dapat disimpulkan, kebudayaan adalah sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Suatu kebudayaan juga merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai karya yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.

Begitu pula dengan kebudayaan atau kultur dalam sekolah. Setiap sekolah memiliki budaya sekolah yang berbeda dan mempunyai pengalaman yang tidak sama dalam membangun budaya sekolah. Perbedaan pengalaman inilah yang menggambarkan adanya “keunikan” dalam dinamika budaya sekolah. Kondisi ini adalah normal sebagaimana dijelaskan oleh Bare (Siti Irene Astuti D, 2009 : 119-120) yang menyatakan bahwa ada beberapa karakteristik dari pendekatan antropologi dalam memahami dalam budaya sekolah meliputi:“a unique mixing of ethnicity, values, experience, skills, and asporation: special rituals and ceremonies: unique history of achievement and tradition: unique socio-economic and geographic location”. 

Budaya sekolah menyebabkan perbedaan respon sekolah terhadap perubahan kebijakan pendidikan, dikarenakan ada perbedaan karakteristik yang melekat pada satuan pendidikan, selain itu budaya sekolah juga mempengaruhi kecepatan sekolah dalam merespon perubahan tergantung kemampuan sekolah dalam merancang pelayanan sekolah (Siti Irene Astuti D, 2009: 74).

Jadi dalam hal ini budaya atau kultur sekolah mempengaruhi dalam dinamika kultur sekolah yang tetap menekankan pentingnya kesatuan, stabilitas, dan harmoni sosial pada sekolah, dan realitas sosial.Budaya sekolah juga memperngaruhi kecepatan sekolah dalam merespon perubahan tergantung kemampuan sekolah dalam merancang pelayanan sekolah.

Sekolah merupakan sistem sosial yang mempunyai organisasi yang unik dan pola relasi sosial di antara para anggotanya yang bersifat unik pula. Hal itu disebut kebudayaan sekolah. Namun, untuk mewujudkannya bukan hanya menjadi tanggung jawab pihak sekolah. Sekolah dapat bekerjasama dengan pihak-pihak lain, seperti keluarga dan masyarakat untuk merumuskan pola kultur sekolah yang dapat menjembatani kepentingan transmisi nilai (Ariefa Efianingrum, 2007: 51).

Terdapat sejumlah pengertian tentang kultur sekolah, antara lain yang dikemukakan oleh Deal & Peterson (2011) berikut ini:

“School culture is the set of norms, values and beliefs, rituals and ceremonies, symbols and  stories that make up the persona of the school.  These unwritten expectation build up over time as teachers, administratirs, parents, and students work together, solve problems, deal with challenges and, at times, cope with failurues, For examples, every school has a set of expectations about wjat can be discussed at staff meetings, what constitutes good teaching techniques, how willing the staff is to change, and the importance of staff development. School culture is also the way they think their schools and deal with the culture in which they work” (Deal & Peterson, 2011)

Budaya sekolah merupakan himpunan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan, ritual dan upacara, simbol dan cerita yang membentuk persona sekolah. Disini tertulis harapan untuk membangun dari waktu ke waktu sebagai guru, administrator, orang tua, dan siswa bekerja sama, memecahkan masalah, menghadapi tantangan dan mengatasi kegagalan. Setiap sekolah memiliki seperangkat harapan tentang apa yang dapat dibahas pada rapat staf, bagaimana teknik mengajar yang baik, dan pentingnya pengembangan staf. Budaya sekolah juga merupakan cara berpikir tentang sekolah dan berurusan dengan budaya dimana mereka bekerja. 

Sedangkan menurut Schein (Peterson, 2002), budaya sekolah dimaknai sebagai: “School cultures are complex webs of traditions and rituals that have been built up over time as teachers, students, parents, and administrators work together and deal with crises and accomplishments. Cultural patterns are highly enduring, have a powerful impact on performance, and shape the essays people think, act, and feel” (Schein, Deal & Peterson, 2002).

Budaya sekolah merupakan jaringan tradisi dan ritual yang kompleks, yang telah dibangun dari waktu ke waktu oleh guru, siswa, orangtua, dan administrator yang bekerja sama dalam menangani krisis dan prestasi. Pola budaya sangat abadi, memiliki dampak yang kuat pada kinerja, dan membentuk bagaimana orang berpikir, bertindak, dan merasa.

Dalam perjalanannya, sekolah juga memiliki kebiasaan dan upacara-komunal untuk merayakan keberhasilan, untuk memberikan kesempatan selama transisi kolektif, dan untuk mengakui kontribusi masyarakat terhadap sekolah. Budaya sekolah juga meliputi simbol dan cerita yang mengkomunikasikan nilai-nilai inti, memperkuat misi, membangun komitmen, dan rasa kebersamaan. 

Simbol adalah tanda lahiriyah nilai. Cerita merupakan representasi sejarah dan makna kelompok. Dalam budaya positif, fitur tersebut memperkuat proses pembelajaran, komitmen, dan motivasi, karena menjamin para anggota konsisten dengan visi sekolah.

Menurut Peterson (2002), suatu budaya sekolah mempengaruhi cara orang berpikir, merasa, dan bertindak. Mampu memahami dan membentuk budaya adalah kunci keberhasilan sekolah dalam mempromosikan staf dan belajar siswa. Sedangkan menurut Willard Waller (Deal & Peterson, 2011), sekolah memiliki budaya yang pasti tentang dirimereka sendiri. Di sekolah, ada ritual yang kompleks dalam hubungan interpersonal, satu set kebiasaan, adat istiadat, dan sanksi irasional, kode moral yang berlaku di antara mereka. Orangtua, guru, kepala sekolah, dan siswa selalu merasakan sesuatu yang istimewa, namun seringkali tak terdefinisikan, tentang sekolah mereka, tentang sesuatu yang sangat kuat namun sulit untuk dijelaskan. Kenyataan ini, merupakan aspek sekolah yang sering diabaikan dan akibatnya seringkali tidak hadir dalam diskusi-diskusi tentang upaya perbaikan sekolah.

Dalam literatur sosiologi pendidikan, kebudayaan sekolah dimaknai sebagai: a complex set of beliefs, values and traditions, ways of thinking and behaving, yaitu seperangkat keyakinan, nilai, dan tradisi, cara berpikir dan berperilaku yang membedakannya dari institusi-institusi lainnya (Vembriarto, 1993). Lebih lanjut dikemukakan bahwa kebudayaan sekolah memiliki unsur-unsur penting, mulai dari yang abstrak/non-material hingga yang konkrit/material,  yaitu:

1. Nilai-nilai moral, sistem peraturan, dan iklim kehidupan sekolah. 

2. Pribadi-pribadi yang merupakan warga sekolah yang terdiri atas siswa, guru, non teaching specialist, dan tenaga administrasi.

3. Kurikulum sekolah yang memuat gagasan-gagasan maupun fakta-fakta yang menjadi keseluruhan program pendidikan.

4. Letak, lingkungan, dan prasarana fisik sekolah gedung sekolah, mebelair, dan perlengkapan lainnya.

Sekolah berperan dalam menyampaikan kebudayaan dari generasi ke generasi dan oleh karena itu harus selalu memperhatikan kondisi masyarakat dan kebudayaan umum. Namun demikian, di sekolah itu sendiri timbul pola kelakuan tertentu. Kebudayaan sekolah merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat luas, namun mempunyai ciri-ciri yang khas/unik sebagai suatu sub-kebudayaan/sub-culture (Nasution, 1999). 

Timbulnya sub-kebudayaan sekolah juga terjadi karena sebagian besar dari waktu siswa terpisah dari kehidupan orang dewasa. Dalam kondisi demikian, dapat berkembang pola perilaku yang khas bagi siswa yang tampak dari pakaian, bahasa, kebiasaan, kegiatan-kegiatan, serta upacara-upacara. Sebab lain timbulnya kebudayaan sekolah adalah tugas sekolah yang khas yakni mendidik anak melalui penyampaian sejumlah pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), 

ketrampilan (psikomotorik) yang sesuai dengan kurikulum dengan metode dan teknik kontrol tertentu yang berlaku di sekolah itu. Sebagai sub-kultur, kultur sekolah hadir dalam berbagai variasi dalam praktiknya.

B. Karakteristik Kultur Sekolah

Kultur sekolah diharapkan memperbaiki mutu sekolah, kinerja di sekolah dan mutu kehidupan yang diharapkan memiliki ciri sehat, dinamis atau aktif, positif, dan profesional. Sekolah perlu memperkecil ciri tanpa kultur anarkhis, negatif, beracun, bias dan dominatif. Kultur sekolah sehat memberikan peluang sekolah dan warga sekolah berfungsi secara optimal, bekerja secara efisien, energik, penuh vitalitas, memiliki semangat tinggi, dan akan mampu terus berkembang.

Sifat dinamika kultur sekolah tidak hanya diakibatkan oleh dampak keterkaitan kultur sekolah dengan kultur sekitarnya, melainkan juga antar lapisan-lapisan kultur tersebut. Perubahan-perubahan pola perilaku dapat secara proses mengubah sistem nilai dan keyakinan pelaku dan bahkan mengubah sistem asumsi yang ada, walaupun ini sangat sukar. Dinamika kultur sekolah dapat saja menghadirkan konflik dan jika ini ditangani dengan bijak dan sehat dapat membawa perubahan yang positif (Depdiknas Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2003: 6-7).

Kultur-kultur yang direkomendasikan Depdiknas untuk dikembangkan antara lain :

1. Kultur yang terkait prestasi/kualitas : (a) semangat membaca dan mencari referensi; (b) keterampilan siswa mengkritisi data dan memecahkan masalah hidup; (c) kecerdasan emosional siswa; (d) keterampilan komunikasi siswa, baik itu secara lisan maupun tertulis; (e) kemampuan siswa untuk berpikir obyektif dan sistematis.

2. Kultur yang terkait dengan kehidupan sosial : (a) nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan; (b) nilai-nilai keterbukaan; (c) nilai-nilai kejujuran; (d) nilai-nilai semangat hidup; (e) nilai-nilai semangat belajar; (f) nilai-nilai menyadari diri sendiri dan keberadaan orang lain; (g) nilai-nilai untuk menghargai orang lain; (h) nilai-nilai persatuan dan kesatuan; (i) nilai-nilai untuk selalu bersikap dan berprasangka positif; (j) nilai-nilai disiplin diri; (k) nilai-nilai tanggung jawab; (l) nilai-nilai kebersamaan; (m) nilai-nilai saling percaya; (n) dan nilai-nilai yang lain sesuai kondisi sekolah ( Depdiknas Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2003: 25-26).

Sedangkan menurut Jumadi (2006: 6) Keberhasilan pengembangan kultur sekolah dapat dilihat dari tanda-tanda atau indikator sesuai fokus yang dikembangkan. Beberapa indikator yang dapat dilihat antara lain : adanya rasa kebersamaan dan hubungan yang sinergis diantara warga sekolah, berkurangnya pelanggaran disiplin, adanya motivasi untuk berprestasi, adanya semangat dan kegairahan dalam menjalankan tugas, dan sebagainya.

Kultur sekolah bersifat dinamis. Perubahan pola perilaku dapat mengubah sistem nilai dan keyakinan pelaku dan bahkan mengubah sistem asumsi yang ada, walaupun ini sangat sulit. Namun yang jelas dinamika kultur sekolah dapat saja menghadirkan konflik dan jika ini ditangani dengan bijak dan sehat dapat membawa perubahan positif. 

Kultur sekolah itu milik kolektif dan merupakan perjalanan sejarah sekolah, produk dari berbagai kekuatan yang masuk ke sekolah. Sekolah perlu menyadari secara serius mengenai keberadaan aneka kultur subordinasi yang ada seperti kultur sehat dan tidak sehat, kultur kuat dan lemah, kultur positif dan negatif, kultur kacau dan stabil dan konsekuensinya terhadap perbaikan sekolah. Mengingat pentingnya sistem nilai yang diinginkan untuk perbaikan sekolah, maka langkah-langkah kegiatan yang jelas perlu disusun untuk membentuk kultur sekolah (Depdiknas Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2003: 7).

Jadi dalam hal ini dinamika kultur sekolah adalah budaya dalam  kehidupan sekolah yang berjalan secara terus menerus yang dapat merubah pola perilaku. Dinamika kultur juga dapat menghadirkan konflik, namun dalam hal ini jika sekolah dapat menangani secara bijak konflik  tersebut dapat menajadi perubahan yang positif.

C. Implikasi Kultur Sekolah dalam Perbaikan Sekolah

Deal & Peterson (1999) memperluas kajian yang menunjukkan betapa kultur berpengaruh terhadap berjalannya fungsi sekolah. Berikut ini deskripsi mengenai aspek-aspek kultur sekolah yang berpengaruh terhadap fungsi sekolah:

1. Visi dan Nilai (Vision and Values)

Kouzes dan Posner (Locke, et.al. 1991) mendefinisikan visi sebagai berikut: “Vision as an ideal and unique image of the future”. Sedangkan Hickman & Silva mendeskripsikannya sebagai “A mental journey from the known to the unknown, creating the future from a montage of current facts, hopes, dreams, dangers, and opportunities”.

Berdasarkan pengertian tersebut, visi merupakan citra ideal dan unik tentang masa depan atau orientasi masa depan terhadap kondisi ideal yang dicita-citakan. Nilai, secara sosiologis/antropologis, dapat didefinisikan sebagai berikut: “A value is a conception, explicit or implicit, distinctive of an individual or characteristic of a group, of a desirable which influence the selection from available modes, means, and ends of action”(Kluckhohn dalam Enz, q1986).

Nilai bukan sekedar sebuah preferensi, melainkan merupakan persenyawaan dari pemikiran, perasaan, dan preferensi. Menurut Parsons & Shils (Enz, 1986), komponen nilai meliputi: kognitif, emosional, dan evaluatif. Sedangkan menurut Harrison & Huntington (2000), terdapat dua kategori nilai, yaitu nilai intrinsik dan nilai instrumental. Nilai intrinsik merupakan nilai yang ditegakkan tanpa memperhatikan untung/rugi, misalnya: nilai patriotisme. Sedangkan nilai instrumental merupakan nilai yang didukung karena menguntungkan, misalnya produktivitas. 

Visi misi tujuan dan nilai-nilai dalam budaya merupakan unsur yang penting. Pentingnya tujuan bermakna norma-norma yang positif, dan nilai-nilai yang dipegang teguh untuk menambahkan semangat dan vitalitas untuk perbaikan sekolah.

2. Upacara dan Perayaan (Ritual and Ceremony)

Upacara, tradisi, dan perayaan sekolah bermanfaat dalam membangun jaringan informal yang relevan dengan budaya. Momentum-momentum penting di sekolah dapat dirayakan secara sederhana untuk me-recharge esprit de corps yang dimiliki sekolah untuk menggelorakan visi dan spirit sekolah.

3. Sejarah dan Cerita (History and Stories)

Sejarah dan cerita masa lalu penting dalam mengalirkan dan memancarkan energi budaya. Fokus pada setiap budaya sekolah adalah aliran sejarah dan peristiwa masa lalu yang turut membentuk budaya berkembang pada masa kini. Dengan kata lain, romantisme masa lalu dapat membangkitkan semangat untuk mewujudkan kejayaan masa depan. 

4. Arsitektur dan Artefak (Architecture and Artifacts)

Sekolah biasanya memiliki simbol-simbol seperti: arsitektur, motto, kata-kata dan tindakan. Setiap sekolah memiliki lambang/logo sekolah, motto, lagu (mars/hymne), dan seragam sekolah yang mencerminkan visi dan misi sekolah. Pemanfaatan lahan pada area sekolah seperti: dinding kelas, selasar sekolah, dan lorong sekolah untuk memampangkan artefak fisik, efektif dalam menumbuhkan nilai dan spirit utama sekolah, misalnya melalui poster, majalah dinding, spanduk, dan pesan inspiratif lainnya.

Selanjutnya disajikan sejumlah fakta yang menunjukkan bahwa kultur sekolah memiliki implikasi terhadap upaya perbaikan sekolah, seperti dikemukakan Deal & Peterson (2011). Namun demikian, dalam praktiknya kultur sekolah seringkali justru terlewatkan dalam upaya perbaikan sekolah antara lain:

1. Culture fosters school effectiveness and productivity (Budaya mendorong terwujudnya efektivitas dan produktivitas sekolah). 

2. Culture improves collegial and collaborative activities that fosters better communication and problem solving practices (Budaya meningkatkan kegiatan kolegial dan kolaboratif yang mendorong perbaikan komunikasi dan praktik pemecahan masalah).

3. Culture fosters successful change and improvement efforts (Budaya mendorong upaya keberhasilan perubahan dan perbaikan).

4. Culture builds commitment and identification of staffs, students, and administrators (Budaya membangun komitmen dan identifikasi dari para staf, siswa dan tenaga administrasi).

5. Culture amplifies the energy, motivation, and vitality of a school staff, students, and community (Budaya menguatkan energi, motivasi, dan vitalitas dari staf sekolah, siswa, dan komunitas/masyarakat).

6. Culture increases the focus of daily behavior and attention on what is important and valued (Budaya meningkatkan fokus pada perilaku keseharian dan perhatian pada apa yang penting dan bernilai/berharga).

D. Aneka Praktik Pengembangan Kultur Sekolah

Kultur sekolah bukan sekedar kultur di sekolah.Kultur sekolah dimiliki oleh tiap-tiap sekolah. Masing-masing sekolah dapat mengembangkan keunikan dan ciri khas melalui kultur sekolah. Oleh karenanya terdapat variasi kultur di sejumlah sekolah. Pengembangan kultur di masing-masing sekolah dapat disesuaikan dengan aspek-aspek yang dianggap penting oleh masing-masing sekolah, seperti: visi-misi, kondisi dan potensi sekolah. 

Sejumlah sekolah lebih menekankan kultur sekolah yang fokus untuk mendorong pencapaian prestasi akademik. Namun sejumlah sekolah yang lain lebih fokus pada aspek non-akademik. Hal tersebut sangat dimungkinkan, mengingat para siswa yang mendapatkan layanan pendidikan memiliki kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang bervariasi.

Adapun kultur sekolah yang dapat dikembangkan antara lain yang kondusif bagi pengembangan:

1. Prestasi Akademik

Di sekolah yang menghargai prestasi akademik, terjadi proses penciptaan iklim akademik (academic athmosphere) yang bertujuan untuk mencapai prestasi akademik. Prestasi akademik ini biasanyaterkait dengan sejumlah mata pelajaran pokok yang dipelajari di sekolah. Sebagian besar orang tua siswa cenderung menghargai prestasi akademik daripada prestasi lainnya. 

2. Non-Akademik

Prestasi non-akademik juga dapat dikembangkan melalui kultur sekolah yang menghargai prestasi olah-raga, seni, dan ketrampilan lainnya. Nilai-nilai kreativitas dan demokrasi juga dapat dikembangkan melalui kultur sekolah yang memberi ruang (space) yang memadai, sehingga siswa memiliki keleluasaan untuk berpartisipasi, berkreasi, berpikir secara kritis, berperilaku humanis. Selama ini kebanyakan sekolah menganggap penting prestasi akademik siswa. Profil kecerdasan majemuk siswa yang bervariasi seringkali terabaikan. Padahal dalam realitasnya, kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan oleh prestasi akademik yang telah dimiliki, melainkan juga disebabkan oleh prestasi non-akademiknya.

3. Karakter

Karakter berkaitan dengan moral dan berkonotasi positif. Pendidikan untuk pembangunan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong, dan memudahkan seseorang mengembangkan kebiasaan yang baik. Karakter bersifat inside-out,maksudnya bahwa perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan baik ini terjadi karena adanya dorongan dari dalam,bukan karena paksaan dari luar (HB X, 2012). Adapun variasi nilai karakter yang dapat dikembangkan melalui kultur sekolah antara lain: yang kondusif bagi pengembangan nilai-nilai religius, nilai demokrasi, kedisiplinan, kejujuran, ramah anak, anti kekerasan, dan lain-lain.

4. Kelestarian Lingkungan Hidup 

Sejumlah sekolah di berbagai level (SD, SMP, SMA) mendapatkan penghargaan dan predikat sebagai sekolah adiwiyata, yaitu sekolah menjaga kelestarian lingkungan hidup. Penghargaan tersebut perlu diapresiasi dalam menstimulasi terwujudnya sekolah berwawasan lingkungan. Namun demikian, predikat sekolah adiwiyata tidak muncul dengan sendirinya tanpa diupayakan melalui pengembangan kultur sekolah ramah lingkungan.Sejumlah sekolah yang fokus dalam pengembangan sekolah hijau (green school) memiliki visi-misi yang berorientasi pada kehidupan dan kondisi lingkungan masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan (sustainability). Untuk mewujudkannya, memerlukan komitmen bersama seluruh warga sekolah dalam pengembangan kultur sekolah yang ramah lingkungan.

Demikian tadi sejumlah contoh kultur sekolah yang dapat dikembangkan oleh tiap-tiap sekolah. Masih terbuka bagi sejumlah alternatif lain sesuai karakteristik dan kreativitas masing-masing sekolah. Program sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan dan mengembangkan kultur sekolah dapat bervariasi karena tidakada model tunggal. Setiap sekolah memiliki tujuan umum pendidikan yang relatifsama (universal), namun sebagai sub-kultur, setiap sekolah dapat mengembangkan kultur sekolah yang khas (relatif) sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh institusi sekolah. Sub-kultur tersebut biasanya identik dengan kultur di masyarakat yang lebih luas. Dengan adanya variasi tersebut, setiap sekolah memiliki peluang untuk menjadi sekolah unggul, dengan keunggulan masing-masing yang khas. Setiap sekolah bahkandapat saling mengisi secara kolaboratif, bukannya bersaing secara kompetitif. Semua kembali kepada bagaimana dan kemana pimpinan sekolah akan membawa dan mengarahkan sekolahnya. Bukankah pimpinan sekolah memiliki peran sentral dalam membagikan nilai (shared values) dan mengkomunikasikan visi-misi sekolah kepada seluruh warga sekolah?

E. Penutup

Kultur sekolah memiliki peran simbolik dalam membentuk pola kultural dalam praktik kehidupan di sekolah. Kultur sekolah merupakan faktor kunci yang menentukan pencapaian prestasi akademik maupun non akademik, dan keterlaksanaan proses pembelajaran bagi siswa. Kultur sekolah meliputi faktor material yang tangible dan non- material yang intangible. Realitas menunjukkan bahwa kunci keberhasilan pendidikan seringkali justru terletak pada faktor yang tak terlihat. Karenanya, menekankan perbaikan pendidikan di sekolah pada proses restrukturisasi semata, tidak lagi memadai. 

Namun demikian, restrukturisasi yang bersifat struktural dan rekonstruksi yang bersifat kultural tidak perlu saling menegasikan dalam praktiknya.Dalam pengembangan kultur sekolah, terdapat aneka pilihan alternatif yang dapat disesuaikan dengan visi-misi dan kondisi sekolah, serta profil siswa dalam aneka kecerdasan majemuk Sebagai sub-kultur, setiap sekolah dapat mengembangkan kultur sekolah yang khas sesuai dengan potensi yang dimiliki, yang bisa jadi identik dengan kultur masyakarat yang lebih luas. Dengan adanya variasi tersebut, setiap sekolah memiliki peluang yang sama untuk membanggakan keunggulan sekolah masing-masing yang khas. Semua ini tergantung pada peran pimpinan sekolah yang dapat menggerakkan dan mengkomunikasikan visi-misi sekolah kepada seluruh warga sekolah.

Referensi : 

Efianingrum, Ariefa. _Kultur Sekolah_,  Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 1, 2013


Karakteristik Peserta Didik

Nama : Nurhafiza NIM    : 11901338 Kelas  : PAI 4 E Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, baiklah dengan adanya tulisan ini untuk...